Siapakah yang berhak menghakimi hati seorang
muadzin, di saat suaranya merdu berkumandang?
Siapakah yang berhak
menghakimi hati seorang yang shalat, di saat berdiri penuh ketenangan?
Siapakah yang berhak
menghakimi seorang syuhada, di saat berdiri di tengah pasukan dan tubuh penuh
bersimbah darah?
Siapakah yang berhak
menghakimi hati seorang yang memasukkan hartanya ke kotak-kotak sedekah?
Siapakah yang berhak
menghakimi hati orang-orang yang berbuat kebaikan?
Kadang kala manusia
berani sekali berprasangka buruk atas perbuatan orang lain, bahkan
memfitnahnya, menjadi hakim atas hati orang lain. Mengatakan “orang itu” hanya
cari muka, hanya cari perhatian, berlagak alim, berlagak khusyuk, baca
Qur’annya dimerdu-merduin, cuma pamer harta. Padahal diri kita sendiri
tidak tahu bagaimana isi hati orang pasti dan sebenar – benarnya tetapi kita
sudah tampil sebagai orang yang “Maha Mengetahui”.
Umar bin Khattab pernah
berpesan, jika seorang melakukan sesuatu hakimilah zhahirnya (lahirnya/yang
tampak) saja, tetapi jangan kalian hakimi hatinya. Jika seorang muadzin
mengumandangkan adzan, misalnya cukuplah kita menghakimi bagaimana suara yang
dikeluarkan. Jika merdu baiklah kita mendoakannya, tetapi jika tidak merdu,
juga tidak menjadi masalah juga tetaplah kita menyikapi dengan hati yang baik.
Janganlah kita hakimi hati “dia” hanya mencari pujian orang dengan suara
adzannya. Orang shalat, bisalah kita menghakimi gerakan shalatnya salah atau
benar, janganlah kita hakimi “dia” berlagak khusyu` saja biar dilihat orang.
Sudah seharusnya kita
sibuk menghakimi hati diri kita sendiri, karena kita punya pengetahuan akan
diri kita sendiri ketimbang kita menghakimi hati orang yang kita tidak Allah
berikan kemampuan kepada manusia untuk memiliki pengetahuan akan hal itu. Dia
Allah Tuhan yang Maha mengetahui, tidak ada sesuatupun yang terlewatkan
dariNya, tidak ada yang tersembunyi, apalagi membohongi diriNya. Dia-lah Allah
yang berhak menghakimi hati seseorang, apakah seseorang itu ikhlas atau riya.
Menghakimi hati seorang
hanya menambah pekerjaan yang sia-sia, menambah sesak pikiran, menambah racun
dan penyakit hati, dan semua itu menyebabkan jiwa rusak, jika jiwa rusak maka
rusaklah perbuatan manusia.
Menghakimi hati seorang
hanya menambah kecurigaan, menambah prasangka, menambah fitnah, dan karena itu
semua tambahlah perpecahan di antara umat Islam. Menghakimi hati seseorang
hanya menambah kesombongan, membangga-banggakan diri, dan mengambil hak-hak
Allah. Kesombongan hanya milik Allah, membangga-banggakan diri hanya milik
Allah, sedangkan manusia tidak ada hak setitikpun untuk mengambilnya.
“Rasulullah SAW
bersabda: “Tidak akan masuk ke dalam surga, seseorang yang di dalam hatinya
terdapat kesombongan (takabur) seumpama biji sawi.” Seorang laki-laki
bertanya:”Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai supaya bajunya bagus dan
sandalnya bagus.” Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Indah, Dia menyukai
keindahan. Kesombongan itu menolak kebenaran dan memandang rendah orang lain.”
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar